Virgo

7 Mei 2014

Aku Cinta Batik (Cerpen)





 “Kau jangan pergi lagi, Nak!”

Aku peluk Ibu yang bersandar di peraduan. “Maafkan Kana Bu, Kana janji takkan pergi dari rumah lagi?”

Ibuku kini divonis sakit, diabetes melitus menyerangnya.

Selama satu bulan kebelakang, aku kabur, ke rumah nenek karena katanya aku mau dijodohkan. Hingga Ayah dan Ibu melapor ke kantor polisi akhirnya aku pulang.

 

Kata dokter  yang so tahu. Penyakit Ibuku, sukar untuk disembuhkan. Tapi aku tak percaya,

 “Kana, Bunda harus diperhatikan takaran makanannya kalau tidak.... !” Belum juga selesai Dokter sok tahu itu bicara, aku tarik kerah bajunya.

“Sembarangan sekali kau bicara, dia Ibuku bukan kau yang tentukan!”

Sejak pristiwa itu dokter yang so tahu itu menjadi musuh bagiku. Walaupun dia dokter Ibuku yang setia memeriksa siang dan malam. Amarahku selalu memuncak saat melihat dia. Kalau saja dia semacam  kecoa mungkin aku bisa injak sampai mampus tapi dia juga manusia sepertiku. Anggota keluargaku hampir semua tahu. Permusuhanku dengan Dokter yang so tahu itu. Tapi entah kenapa mereka seperti tidak mau memikirkan kalau itu masalah besar.

 

Meskipun Dia sosok yang sederhana. Hobinya mengenakan kemeja batik, dengan corak batik yang elegan. Kulitnya tak terlalu putih tapi bersih, tubuhnya yang tegap lincah. Tampak terlatih, melayani pasien-pasiennya yang harus disembuhkan.

Aku paling tidak suka batik, kuno buat orang tua. Apalagi kulitku putih, tubuhku langsing, walaupun rambutku selalu pendek. Aku suka produk luar negeri, model-model korea paling cocok untukku. Ibuku salah satu pengusaha butik terkenal. Banyak koleksi batik, kaya kemeja dokter yang so tahu itu. Tapi tetap saja batik itu norak.

 

Pada malam hari seperti biasa dokter so tahu itu datang lagi. Kakaku yang cantik mengomentari wajahku yang cemberut.

 “Kamu jangan terlalu benci sama dia, nanti jadi jodoh lo?”

“Jodohku? Enggalah Ka.”

Hari-hari berlalu kesehatan Ibu semakin membaik, hatiku lebih tentram. Kalau Ibu sembuh, dokter yang so tahu itu pasti tidak akan pernah muncul dihadapanku lagi.

 

Dalam beberapa hari, akhirnya Ibu sudah mulai berangkat kerja. Kegiatan pun mulai normal. Tapi dokter itu masih selalu datang.

“Apaan sih maunya, hilir mudik ke rumahku terus?” Otakku selalu mumet saat dia muncul dihadapanku. Dia memang lumayan keren tapi batiknya il feel  banget.

 

Pada suatu pagi, Ayah dan Ibu seperti mau mengadakan acara besar. Para karyawan toko pada datang ke rumah. Kecurigaanku semakin meningkat. Otakku berputar,  kepala yang tak gatal aku garuk-garuk.

“Ibu, mau ada acara apa?” Ibu mnjawab dengan santai.

”Kejutan.” Senyuman Ibu selalu mengembang dibibirnya.

 

Sore hari halaman rumahku sudah di dekorasi aquascape natural yakni dekorasi yang menerapkan keindahan alam. Warna kuning memantulkan cahaya, dipadukan dengan hijau daun. Tak dipungkiri itu warna kesukaanku, hijau daun dengan kuning.

 

Malam semakin larut acara segera dimulai, sang dokter juga hadir. Kemeja batiknya tetap menempel sangat rapi, mataku terpana melihatnya. ”Keren juga!” Hatiku mengakui tapi tak boleh kalah. Sepertinya kesombonganku belum tercium oleh dokter so tahu itu. Aku melangkah dihadapannya seakan-akan siap menyambut, Dia segera mengulurkan tangannya, tak lupa senyum khasnya. Tapi aku tak sudi menyambut dia. Niatku mempersilahkan tamu yang lain. Sedikit kucuri pandang kebelakang. Dia pasti kecewa, namun dia malah tetap senyum. “Dasar sok tampan”

 

MC sudah mengerjakan tugasnya, dari awal sampai acara yang ditunggu-tunggu.

“Kepada Pak Dokter Alif Fajri, yang terhormat kami persilahkan untuk kedepan!”

Dengan ramah dia tampil, duk jantungku sepertinya mau berhenti berdetak.

 

”Kawan-kawan yang saya hormati. Saya salah seorang pecinta batik Indonesia, maka bukan karena saya so tahu, saya selama bertugas sering memakai batik. Dengan batik, saya merasa lebih terhormat dan keren.  Bunda lah yang menginspirasikan saya untuk merealisasikan cinta saya. Dengan demikian kami resmikan membuka cabang-cabang butik diluar negeri, diantaranya di Paris, Belanda dan Korea. Ucapkan terimakasih kepada Mr Heriklow, Koko Siku Tata be, Tuan Meija Hatimura. dan semua Tamu Undangan yang hadir. Kawan-kawan, buktikanlah cinta kita jangan malu memakai produk dalam Negeri. Cintai budaya kita. Batik mudah didapat mulai dari harga paling murah sekalipun. I love Batik Indonesia!”

 

Dengan cepat sebuah backgraund yang tertutup kain dari tadi terbuka lebar.

 

                                          Selamat !

                                  Butik Kana Alif Fajri

               Kolaborasi dengan perusahan-perusahan

                                Di Paris, Belanda dan Korea

                               I Love Budaya Indonesia

                                    Mari pakai batik !!

 

Mataku terfokus pada nama di backgraund itu, “Ibu ko namaku?”

“Ya sayang tidak apa-apa, itu usulan dari dokter ko, baguskan?”

“Dokter so tahu” Pelan suaraku, entah Ibu mendengar atau tidak.

“Wah keren ya Butik kita?” Tiba-tiba  kakaku mengagetkan

“Enggak”

“Kana, mulai sekarang kita harus belajar menghormati orang eh budaya, gantilah pakaian Korea unyu-unyumu, hehe!”

“Ah kakak sama saja kaya dia!”

“Tidak, supaya Produk kita menarik konsumen, masa pemilik tak menghargai karya sendiri, betul tidak?” Biar kakakku tidak ceramah terus aku jawab secepatnya

“Ya.”

“Wah ngambek?” Kakaku terus saja menggoda, hingga akhirnya aku menangis ke kamar. Kakak pun tidak berpihak padaku.

 

Bangun tidur mataku bengkak. Ibu sepertinya kasihan melihatku, lalu menghampiri dan menggandeng ke sofa,

“Kenapa, marah gara-gara kakakmu semalam?”

“Enggak.”

“Ibu ngerti ko perasaan putri Ibu?” Ibu mengusap rambutku dengan lembut.

 “Apa?” Aku pandangi wajah Ibu penasaran, yang tampak serius.

“Dokter Alif mau bertunangan Nak, kita tinggal menunggu undangannya. Dokter punya banyak kawan yang memiliki perusahan diluar negeri, akhirnya mengajak kita kerja sama tapi dokter bukan pengelola. Beliau cinta budaya, hanya ingin melestarikan budaya-budaya Indonesia, apapun itu!”

“Ya!”

Aku menyusupkan wajah kepangkuan Ibu. Akhirnya teka-teki itu terungkap, namun entah, rasa hambar menyusup dalam kalbukku. Resahku makin bertambah.

 

“Aku telah salah menerka, yang ada akulah yang jatuh cinta padanya. Kini dia telah benar-benar menghilang sesuai asaku. Alif fajri tak akan pernah menghantui hidupku lagi.” Ratapan dalam hatiku

 

***

 

Mentari pagi tersenyum merekah menyambutku. Hari ini pertama kali aku mengenakan batik. Sebagai bukti kecintaanku, entah cinta yang bergemuruh dalam hatikku atau demi Butik Kana Alif Fajri. Kegiatan harianku kini mengawasi toko-toko yang selama ini dipegang oleh Ibu. Aku pakai blazer warna kuning dengan “Batik Cap” yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin dengan coraknya  “Mega mendung.”

 

Kini sepertinya aku mulai tertarik pada pengrajin batik. Mereka menulis, menggambarkan corak dengan menerapkan malam diatas kain-kain putih. Keindahan budaya batik kita pun tersirat memukau.

 

Kring-kring!!!!!!

“Assalamualaikum?” Aku menyapa penelepon dari sebrang

“Wa’alaikumussalam, Bunda apa kabar, gimana kabar Kana?” Dadaku menendang sepertinya itu suara Alif, Langsung kututup gagang teleponnya.

Setelah beberapa bulan menghilang, tiba-tiba dia telepon. “Dia sudah bertunangan untuk apa menyebut namaku?”

 

Senja perlahan menghantarkanku pada malam. Sore ini aku mampir ke pantai pavoritku, sedari menanti magrib tiba.

Aku berdiri ditepi pantai, merentangkan tangan lalu perlahan memejamkan mata, angin bertiup menggoyang-goyangkan blazer batik yang aku pakai. “Kana?” tiba-tiba suara itu membangunkan lamunanku. Reflek bibirku berucap ”Dokter?” Aku merasa dia yang memanggil tapi tak mungkin. Saat suara itu memanggil untuk kedua kalinya aku balikan tubuh. Tampaklah dihadapanku berdiri sosok yang tegap dengan kemeja batik yang calm. Aku Tak bisa berbohong lagi. Senyum kecil menyambutnya.

“Kana Maafkan, Aku meninggalkanmu tanpa pesan?”

“Kau berpesan untuk siapa?”

“Kaulah calon tunanganku.”

“Apa yang kau maksud?”

“Karena Bunda aku selalu mengetahui kabarmu, Kana. Maukah kau terima cincin tunangan dariku?”

Kupandangi Dokter Alief Fajri yang tesenyum mengulurkan tangannya. Kenyamana itu tiba, setitik demi setitik air bening membasahi pipiku.

“Sekarang aku sudah belajar mencintai batikmu!”

“Terimakasih.”

 

Tamat

Tidak ada komentar: