Virgo

7 Mei 2014

Nama Penaku"


Aku sangat iri, marah pula. Kalau lagi mengetik nama yang panjang-panjang soalnya tidak cukup satu kolom di Excel. Sepertinya nama juga mengalami perkembangan zaman yang pesat. Dahulu nama ee atau ii biasa saja. Tetapi sekarang aku telusuri jarang sekali nama yang satu kata seperti namaku.

“EVI.” Sampai-sampai teman seperjuanganku ketika bertanya nama lengkap, hingga mengulang beberapa kali, entah tak percaya atau tak yakin dengan jawaban pertama. Padahal aku serius menjawabnya

 "Nama lengkap, apa Vie?”

“Evi.”

“Oh, Evi apa?”

“Ya namaku Evi.”

“Ya Evi, apa?”

“Tidak ada kepanjangan?”

“Tidak ada?”

“Ya.”

“Masa?” Setelah mendesak baru percaya. Aku garuk-garuk kepala harus mencari kemana lagi tambahannya.


“Ibuuuu, Ayaaaah tolong panjangkan namaku!” Tapi kadang aku bersyukur lebih baik tiga huruf, mudah di ingat, enak dibaca, gampang menuliskan. Yang paling seru andai aku punya gelar yang panjang, misalkan Prof. Dr. EVI. MA. PH. S.Pd. S.H, nah kayanya baru mudah percaya kalau begitu. Tapi maaf aku jadi ngelantur.

Selamat untuk Kakak-kakak, Adik-adik, Bapa-bapak, Ibu-ibu telah punya nama yang bagus, indah, panjang dan nyaman. Temanku ada yang sampai tujuh kata. namanya Siti Aisya Putri Dila Purnama Raisya Cinta, bisa buat nama tujuh orang. Bisa di panggil Siti, Neng Aisya, Teteh Putri, Tante Dila, Nona Purnama, Kakak Raisya atau Adik Cinta.


“E.V.I” Selalu terngiang saat Guruku memanggil dengan panggilan Vie nya yang medok, rasanya menjadi kebanggan dalam hati senang sekali.

“Evi, kedepan kerjakan PRnya!”

“Ya Pak!” aku segera melemparkan senyum pada guruku, tidak memikirkan salah atau betulnya jawaban, yang penting sebutan Vie itu terdengar tiada yang lain.

Namaku setia menemani sejak lahir, warisan dari ibu dan ayah. Tapi semakin hari kebutuhan semakin menumpuk bergiliran, sudah punya sandal jepit mau sandal kulit, sudah dapat motor siap-siap mengumpukan uang beli mobil, tak pernah puas.


Aku sebaiknya minta ditambah kepanjangan nama. Bicara sama Ibu dan Ayah, mereka hanya senyum, bicara kepada tiga kakakku pun pada manyun entah meledek atau terlalu senang. Terpaksa aku tepuk jidat minta tolong ke siapa, masa ke Pak Lurah.


Mengganti nama mudah sebenarnya. Namaku sekarang Evi Sunrise sebelumnya namaku Evi Ana. Masih teringat pengalaman ketika di warung padahal aku hanya mengganti nama di facebook,

“Evi Ana, mau beli apa?” aku hanya tersenyum

“Itu nama facebookku, ko Teteh bisa tahu?” wajahku penasaran, sedikit malu.

“Iya dong.” Katanya, bisa jadi Teteh warung berteman di facebook makanya tahu namaku entah.


Mentari pagi bahasa inggris dari Sunrise. Asal mula nama Sunrise karena ada kisah yang tak terlupakan bersama sahabatku. Sunrise seumpama  lahir harapan baru yang aku temukan saat mentari pagi terbit, semangat baru, hari menuju perjuangan baru.

Setelah sahabatku menghilang, ada hikmahnya menginspirasikan nama tersebut. Walaupun kini dia sudah pergi tak bersama seperti dulu, dia mengejar cita-citanya sekolah tinggi di luar negeri. Dia diantaranya salah satu sahabat spesial yang sangat ajaib dalam hidupku. Karenanya asaku bangkit, buliran airmata berganti menjadi harapan hingga tumbuh mekar, harum mewangi. Sampai akhirnya aku tempelkan nama Sunrise.

Mentari pagi bagian dari arti nama sahabatku. Tetapi kalau namaku Evi Mentari Pagi, susah memanggilnya, makanya aku menggantinya dengan bahasa Inggris Sunrise.


Menulis menjadi nafas baruku, ibarat oksigen. Kalau lagi sesak menulislah, kalau lagi sedih menulislah, kalau lagi gundah menulislah, kalau waktu luang menulislah, kalau waktu senggang menulis pula. Airmata kebahagiaan, airmata keceriaan berteman dengan menulis. Ia sahabat baru yang beberapa bulan ini aku temukan.

Menulis tetap teman baruku menulis!

Mengingat pesan Pak Isa Alamsyah Sang Penulis buku No Excuse, saat aku bertanya segan untuk merevisi cerpen. Maka beliau mengatakan

“Belum dapat motivasinya, temukan alasan kita pasti bergerak. Lihat masa depan!” walaupun kata-kata itu sederhana tapi sangat dalam maknanya. Masa depan bisa berawal dari tulisan. Belum bisa membayangkan, seandainya aku menjadi Penulis. satu diantara mimpiku, semoga waktu akan menjawabnya.

Sekarang aku semangat banget menulis, walaupun belum bagus. Kesalahan kiri-kanan, atas-bawah, depan-belakang tapi semua itu terkalahkan dengan semangat yang menyala.

“Maaf, aku ingin belajar menulis!”


Sebuah tulisan aku kirimkan untuk mengikuti audisi, sampai akhirnya lolos. Tiba-tiba kata Adminnya aku harus mengirimkan Nama Pena atau Nama Asli.

Namaku?” nama asliku E.V.I sepertinya zaman cepat berubah kalau namaku cuma tiga huruf, kadang was-was, tersilih sama nama-nama yang panjang.

“Aku harus punya nama pena!

Itu yang kubutuhkan saat ini. Aku memeras pikiran, melayang demi mencari nama idaman. Tiba-tiba aku menengoklah facebook. Dengan komunitas bisa menulisnya yang amazing. Kenapa aku tidak bertanya pada ahlinya. Lalu aku selidik punya selidik Sensei Pak Isa lagi online, segera aku kirimkan pesan di facebook beliau.

“Salam Pak Isa, minta pendapatnya, nama pena Evi Sunrise, terlalu kekanak-kanakan enggak ya Pak... hehe?”

“Agak sih karena pakai kata bahasa Inggris.”

“Apa harus diganti ya Pak,,, hehe”

“Nama asli?”

“Pak Nama Asli: Evi, pendek sekali ya Pak? boleh Pak sarannya..hehe!”

“Cuma satu kata terdiri dari tiga huruf? di ktp dan ijazah?”

“Sama Pak.”

“Di ktp Evi, di Ijazah Evi, tanpa embel embel binti...”

“Ya, Bapakku namanya Ujer.”

“Maksud saya di ijazah ditulis Evi atau Evi Binti Ujer. Evi binti Ujer?”

“Evi saja. Nah baru selanjutnya putri dari Bapak Ujer.”

“Dulu saya dikenal sebagai By Isa di Tianshi itu sudah tujuh eksemplar lebih, pas masuk gramedia saya masukin nama asli, Isa sendiri nama panggilan. Mungkin lucu juga kalau cuma Evi asalkan orang tahu historinya dan masalah yang dihadapi karena nama terlalu singkat. Coba ibu tulis tentang itu, saya rasa akan menarik, sambil memperkenalkan nama pena nantinya.

“Hehe,,, Bapak bisa saja.”

“Serius.”

“Jadi nama penanya seperti apa ya Pak? nama asli cuma tiga huruf. InsyaAllah Pak, terimakasih ide nya.“

“Belum kepikiran E.V.I, biasanya asma cukup bagus. kalo udah waktunya saya tanya

“Alhamdulilah... di tunggu ya Pak.”

“sip.”

Dengan percakapan yang menyenangkan, alhamdulilah beliau memberikan ide menulis cerita yang berjudul Nama Penaku. Hingga nama pena pun aku temukan


“Asma sempat mengajukan nama Evi Tia (Agak mirip Helvi Tiana)” itu komentar dari Pak Isa, hari senin 14 oktober 2013.


“Evi Tia, nama penaku. Terimakasih Pak Isa,,,, hehe!” mulai sekarang Evi Tia, nama penaku semoga menjadi sahabat terbaik. Kala berjuang dalam kepenulisan bersama asaku. Sehingga membawa keberkahan dunia dan akhirat. Bunda Asma Nadia, terimkasih Nama Penanya.



Sukabumi, 10 Oktober 2013

Aku Cinta Batik (Cerpen)





 “Kau jangan pergi lagi, Nak!”

Aku peluk Ibu yang bersandar di peraduan. “Maafkan Kana Bu, Kana janji takkan pergi dari rumah lagi?”

Ibuku kini divonis sakit, diabetes melitus menyerangnya.

Selama satu bulan kebelakang, aku kabur, ke rumah nenek karena katanya aku mau dijodohkan. Hingga Ayah dan Ibu melapor ke kantor polisi akhirnya aku pulang.

 

Kata dokter  yang so tahu. Penyakit Ibuku, sukar untuk disembuhkan. Tapi aku tak percaya,

 “Kana, Bunda harus diperhatikan takaran makanannya kalau tidak.... !” Belum juga selesai Dokter sok tahu itu bicara, aku tarik kerah bajunya.

“Sembarangan sekali kau bicara, dia Ibuku bukan kau yang tentukan!”

Sejak pristiwa itu dokter yang so tahu itu menjadi musuh bagiku. Walaupun dia dokter Ibuku yang setia memeriksa siang dan malam. Amarahku selalu memuncak saat melihat dia. Kalau saja dia semacam  kecoa mungkin aku bisa injak sampai mampus tapi dia juga manusia sepertiku. Anggota keluargaku hampir semua tahu. Permusuhanku dengan Dokter yang so tahu itu. Tapi entah kenapa mereka seperti tidak mau memikirkan kalau itu masalah besar.

 

Meskipun Dia sosok yang sederhana. Hobinya mengenakan kemeja batik, dengan corak batik yang elegan. Kulitnya tak terlalu putih tapi bersih, tubuhnya yang tegap lincah. Tampak terlatih, melayani pasien-pasiennya yang harus disembuhkan.

Aku paling tidak suka batik, kuno buat orang tua. Apalagi kulitku putih, tubuhku langsing, walaupun rambutku selalu pendek. Aku suka produk luar negeri, model-model korea paling cocok untukku. Ibuku salah satu pengusaha butik terkenal. Banyak koleksi batik, kaya kemeja dokter yang so tahu itu. Tapi tetap saja batik itu norak.

 

Pada malam hari seperti biasa dokter so tahu itu datang lagi. Kakaku yang cantik mengomentari wajahku yang cemberut.

 “Kamu jangan terlalu benci sama dia, nanti jadi jodoh lo?”

“Jodohku? Enggalah Ka.”

Hari-hari berlalu kesehatan Ibu semakin membaik, hatiku lebih tentram. Kalau Ibu sembuh, dokter yang so tahu itu pasti tidak akan pernah muncul dihadapanku lagi.

 

Dalam beberapa hari, akhirnya Ibu sudah mulai berangkat kerja. Kegiatan pun mulai normal. Tapi dokter itu masih selalu datang.

“Apaan sih maunya, hilir mudik ke rumahku terus?” Otakku selalu mumet saat dia muncul dihadapanku. Dia memang lumayan keren tapi batiknya il feel  banget.

 

Pada suatu pagi, Ayah dan Ibu seperti mau mengadakan acara besar. Para karyawan toko pada datang ke rumah. Kecurigaanku semakin meningkat. Otakku berputar,  kepala yang tak gatal aku garuk-garuk.

“Ibu, mau ada acara apa?” Ibu mnjawab dengan santai.

”Kejutan.” Senyuman Ibu selalu mengembang dibibirnya.

 

Sore hari halaman rumahku sudah di dekorasi aquascape natural yakni dekorasi yang menerapkan keindahan alam. Warna kuning memantulkan cahaya, dipadukan dengan hijau daun. Tak dipungkiri itu warna kesukaanku, hijau daun dengan kuning.

 

Malam semakin larut acara segera dimulai, sang dokter juga hadir. Kemeja batiknya tetap menempel sangat rapi, mataku terpana melihatnya. ”Keren juga!” Hatiku mengakui tapi tak boleh kalah. Sepertinya kesombonganku belum tercium oleh dokter so tahu itu. Aku melangkah dihadapannya seakan-akan siap menyambut, Dia segera mengulurkan tangannya, tak lupa senyum khasnya. Tapi aku tak sudi menyambut dia. Niatku mempersilahkan tamu yang lain. Sedikit kucuri pandang kebelakang. Dia pasti kecewa, namun dia malah tetap senyum. “Dasar sok tampan”

 

MC sudah mengerjakan tugasnya, dari awal sampai acara yang ditunggu-tunggu.

“Kepada Pak Dokter Alif Fajri, yang terhormat kami persilahkan untuk kedepan!”

Dengan ramah dia tampil, duk jantungku sepertinya mau berhenti berdetak.

 

”Kawan-kawan yang saya hormati. Saya salah seorang pecinta batik Indonesia, maka bukan karena saya so tahu, saya selama bertugas sering memakai batik. Dengan batik, saya merasa lebih terhormat dan keren.  Bunda lah yang menginspirasikan saya untuk merealisasikan cinta saya. Dengan demikian kami resmikan membuka cabang-cabang butik diluar negeri, diantaranya di Paris, Belanda dan Korea. Ucapkan terimakasih kepada Mr Heriklow, Koko Siku Tata be, Tuan Meija Hatimura. dan semua Tamu Undangan yang hadir. Kawan-kawan, buktikanlah cinta kita jangan malu memakai produk dalam Negeri. Cintai budaya kita. Batik mudah didapat mulai dari harga paling murah sekalipun. I love Batik Indonesia!”

 

Dengan cepat sebuah backgraund yang tertutup kain dari tadi terbuka lebar.

 

                                          Selamat !

                                  Butik Kana Alif Fajri

               Kolaborasi dengan perusahan-perusahan

                                Di Paris, Belanda dan Korea

                               I Love Budaya Indonesia

                                    Mari pakai batik !!

 

Mataku terfokus pada nama di backgraund itu, “Ibu ko namaku?”

“Ya sayang tidak apa-apa, itu usulan dari dokter ko, baguskan?”

“Dokter so tahu” Pelan suaraku, entah Ibu mendengar atau tidak.

“Wah keren ya Butik kita?” Tiba-tiba  kakaku mengagetkan

“Enggak”

“Kana, mulai sekarang kita harus belajar menghormati orang eh budaya, gantilah pakaian Korea unyu-unyumu, hehe!”

“Ah kakak sama saja kaya dia!”

“Tidak, supaya Produk kita menarik konsumen, masa pemilik tak menghargai karya sendiri, betul tidak?” Biar kakakku tidak ceramah terus aku jawab secepatnya

“Ya.”

“Wah ngambek?” Kakaku terus saja menggoda, hingga akhirnya aku menangis ke kamar. Kakak pun tidak berpihak padaku.

 

Bangun tidur mataku bengkak. Ibu sepertinya kasihan melihatku, lalu menghampiri dan menggandeng ke sofa,

“Kenapa, marah gara-gara kakakmu semalam?”

“Enggak.”

“Ibu ngerti ko perasaan putri Ibu?” Ibu mengusap rambutku dengan lembut.

 “Apa?” Aku pandangi wajah Ibu penasaran, yang tampak serius.

“Dokter Alif mau bertunangan Nak, kita tinggal menunggu undangannya. Dokter punya banyak kawan yang memiliki perusahan diluar negeri, akhirnya mengajak kita kerja sama tapi dokter bukan pengelola. Beliau cinta budaya, hanya ingin melestarikan budaya-budaya Indonesia, apapun itu!”

“Ya!”

Aku menyusupkan wajah kepangkuan Ibu. Akhirnya teka-teki itu terungkap, namun entah, rasa hambar menyusup dalam kalbukku. Resahku makin bertambah.

 

“Aku telah salah menerka, yang ada akulah yang jatuh cinta padanya. Kini dia telah benar-benar menghilang sesuai asaku. Alif fajri tak akan pernah menghantui hidupku lagi.” Ratapan dalam hatiku

 

***

 

Mentari pagi tersenyum merekah menyambutku. Hari ini pertama kali aku mengenakan batik. Sebagai bukti kecintaanku, entah cinta yang bergemuruh dalam hatikku atau demi Butik Kana Alif Fajri. Kegiatan harianku kini mengawasi toko-toko yang selama ini dipegang oleh Ibu. Aku pakai blazer warna kuning dengan “Batik Cap” yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin dengan coraknya  “Mega mendung.”

 

Kini sepertinya aku mulai tertarik pada pengrajin batik. Mereka menulis, menggambarkan corak dengan menerapkan malam diatas kain-kain putih. Keindahan budaya batik kita pun tersirat memukau.

 

Kring-kring!!!!!!

“Assalamualaikum?” Aku menyapa penelepon dari sebrang

“Wa’alaikumussalam, Bunda apa kabar, gimana kabar Kana?” Dadaku menendang sepertinya itu suara Alif, Langsung kututup gagang teleponnya.

Setelah beberapa bulan menghilang, tiba-tiba dia telepon. “Dia sudah bertunangan untuk apa menyebut namaku?”

 

Senja perlahan menghantarkanku pada malam. Sore ini aku mampir ke pantai pavoritku, sedari menanti magrib tiba.

Aku berdiri ditepi pantai, merentangkan tangan lalu perlahan memejamkan mata, angin bertiup menggoyang-goyangkan blazer batik yang aku pakai. “Kana?” tiba-tiba suara itu membangunkan lamunanku. Reflek bibirku berucap ”Dokter?” Aku merasa dia yang memanggil tapi tak mungkin. Saat suara itu memanggil untuk kedua kalinya aku balikan tubuh. Tampaklah dihadapanku berdiri sosok yang tegap dengan kemeja batik yang calm. Aku Tak bisa berbohong lagi. Senyum kecil menyambutnya.

“Kana Maafkan, Aku meninggalkanmu tanpa pesan?”

“Kau berpesan untuk siapa?”

“Kaulah calon tunanganku.”

“Apa yang kau maksud?”

“Karena Bunda aku selalu mengetahui kabarmu, Kana. Maukah kau terima cincin tunangan dariku?”

Kupandangi Dokter Alief Fajri yang tesenyum mengulurkan tangannya. Kenyamana itu tiba, setitik demi setitik air bening membasahi pipiku.

“Sekarang aku sudah belajar mencintai batikmu!”

“Terimakasih.”

 

Tamat

Taubat

 

 

 

Andai aku tak memiliki - MU

Apa jadinya aku

Andai aku tak bersandar pada - MU

Hancurlah hidupku

 

Saat sinar mentari semakin menjauh

Aku hanya berharap pada - MU

Saat itu tak ada lagi pemilik jiwaku yang utuh

Hanya Engkau Tuhanku

 

Tumpukan dosa- dosaku

Penghalang tahajudku

Aku kembali pada - Mu

Bertaubat

Indahkan waktuku

dalam munajat, kusebut nama - Mu

 

Sukabumi, 19 juni 2013

CINTA DUNIA



Sunyi
Malam
Aku suka
Hatipun berbisik
Dalam coretan, untaian kata
Cerita apa hari ini?
Cinta
Cinta yang mana?
Saat kau tertawa
Saat kau berduka
Karena siapa?
Dunia, cinta dunia
sungguh, hatipun tetap terluka

 

Sukabumi, 11 juni 2013